Selasa, 06 Maret 2012

Gelandang Barca Pemilik Umpan Paling Akurat

Xavi tercatat sukses mengirimkan 1553 umpan di daerah lawan. Yang menarik, tiga dari lima peringkat teratas dihuni oleh orang Spanyol dan Barcelona. Serta empat diantaranya dari liga Spanyol, demikian dilansir situs resmi Barcelona.
Di tempat kedua ada penyerang Barcelona, Lionel Messi (1351), diikuti gelandang Real Madrid, Xabi Alonso (1271) dan Dani Alves, bek Barcelona (1215). Gelandang Arsenal, Mikel Arteta ada di tempat kelima.
Yang mengagumkan dari Xavi, umpannya tidak hanya akurat di daerah lawan, tetapi juga di daerah sendiri. Total, baik di daerah lawan dan di daerah sendiri, Xavi berhasil mengirimkan 2139 umpan.
Gelandang berusia 32 tahun ini pun menjadi pemain dengan total umpan terbanyak dan sekaligus satu-satunya pemain yang berhasil melewati angka 2000. Ia mengalahkan total umpan Xabi Alonso (1985), Andrea Pirlo (1925), Philip Lahm (1896) dan Mikel Arteta (1804).

Senin, 05 Maret 2012

MAKAM SUNAN BEJAGUNG, SITUS PENYULUT PELITA MASJIDIL HARAM

Kalau Anda berkunjung ke Tuban, jangan lupa berziarah ke makam Sunan Bejagung. Memang, situs ini tak sepopuler makam Sunan Bonang. Tapi, jangan salah, selain mulai ramai dikunjungi, situs ini juga dikeramatkan orang. Mengapa?
Makam Sunan Bejagung atau Syech Abdullah Asy’ari terletak di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding. Sebuah tanah perdikan wilayah Kabupaten Tuban yang kering dan berbatu. Dari pusat kota yang digelari Bumi Ronggolawe itu hanya berjarak sekitar satu kilometer arah selatan, atau berada dalam satu jalur dengan objek wisata pemandian Bektiharjo.
Situs wisata religi ini dikeramatkan orang lantaran semasa hidupnya Sunan Bejagung dikenal sebagai penyulut pelita dan muadzin di Masjidil Haram. Konon, hanya Sunan Bejagung yang mampu melaksanakan tugas itu. Dan, yang menakjubkan, ketika waktu manjing (masuk) shalat isya’ tiba, Sunan Bejagung sudah kembali berada di tengah ratusan santrinya menjadi imam shalat.
Legenda tersebut hingga kini masih hidup dan dipahami sebagai salah satu kelebihan ulama kelahiran Hadrah Maut atau sekarang disebut Yaman itu.


Sudah Beraspal
Akses jalan menuju dua kompleks pemakaman yang disebut Bejagung Lor (utara) dan Bejagung Kidul (selatan) kini sudah beraspal hotmix.
Di kawasan ini juga terdapat kompleks pemakaman Citro Sunan yang letaknya hanya dibatasi jalan raya jurusan Tuban-Bojonegoro. Sebuah jalur alternatif pada jurusun yang sama ketika jalur Tuban-Surabaya atau jalur bawah mengalami kemacetan.
Menurut KH Dr Abdul Matin SH, penyusun Babad Sunan Bejagung, pada awalnya tidak ada istilah Bejagung Lor dan Kidul. “Karena memang Sunan Bejagung hanya ada satu yakni Syech Maulana Abdullah Asy’ari,” jelas Kiai Matin yang juga pengasuh Ponpes Sunan Bejagung. Diruntut secara garis dzurriyah, Kiai Matin termasuk keturunan ke-12 sunan yang semasa hidupnya dikenal santun dan lemah lembut itu.
Pangeran Kusumo
Sebutan dua nama berbeda itu, papar Kiai Matin, berawal dari kedatangan Pangeran Kusumo Hadiningrat atau Pangeran Sudimoro ke perdikan Bejagung atas perintah Syech Jumadil Kubro untuk memperdalam ilmu ketauhidan kepada Syeh Asy’ari. Karena wara’i-nya, lantas putra keempat Prabu Brawijaya atau Prabu Hayam Wuruk ini dijadikan menantu oleh Sunan Bejagung untuk menikahi salah seorang putrinya, Nyai Faiqoh.
Dalam perjalanannya, putra mahkota Majapahit yang meninggalkan gemerlap cahaya istana dan memilih menjadi santri Sunan Bejagung akibat konflik perebutan kekuasaan antara dua bersaudara Pangeran Wirabumi dan Putri Kusuma Wardani, kemudian berganti nama menjadi Hasyim Alamuddin atau yang kemudian lebih dikenal dengan gelar santrinya Pangeran Penghulu.
“Perdikan Bejagung Kidul inilah yang dulu menjadi pusat penyebaran agama Islam dengan segala aktifitas pesantrennya yang dilakukan oleh Syech Asy’ari,” jelas Kiai Matin yang dikenal balaghah membedah berbagai kitab kuning dan pernah menakhodai NU Tuban sebagai Rais Tanfidziyah selama dua periode beruntun itu.
Dijelaskan Kiai Matin, karena memiliki kemampuan yang dianggap sudah setara dengan Sunan Bejagung, akhirnya seluruh tugas dakwah di Kasunan Bejagung diserahkan kepada Pangeran Penghulu. Itu adalah sebuah penghargaan tertinggi yang diberikan Sunan Bejagung kepada putra mantunya.
Setelah semua tugas dakwah diserahkan kepada menantunya, kemudian Sunan Bejagung memilih uzlah (pindah) ke perdikan Bejagung Lor sampai akhir hayatnya. “Secara tradisi setiap peziarah yang akan melakukan rialat di makam Sunan Bejagung harus dimulai dari makam Bejagung Kidul terlebih dulu. Meski secara personal status maqam kewaliannya lebih tinggi dari Bejagung Lor,” kata Kiai Matin.
Apa yang dilakukan Sunan Bejagung ini mengikuti jejak dan ibarat Rasulullah s.a.w. ketika memiliki menantu Sayyidina Ali. Sabda Rasulullah: ana madinatul ilmu wa Aliyyu babuha. Faman arodal Madinah faya’tiha min babiha (saya ibarat kotanya ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya. Maka barangsiapa akan menuju kotahenaklah melalui pintu kota).
Bumi Wali
Sunan Bejagung yang terlahir dengan nama Maulana Abdullah Asy?ari adalah salah satu putra dari Syech Maulana Ibrahim Asmara bin Sayyid Jamaluddin Al Kusaini Al Kubro atau Syech Jamaludin Kubro yang kemudian kesohor dengan panggilan Syech Jumadil Kubro. Keturunan yang melahirkan generasi Wali Songo bersama kakak kandungnya Syech Maulana Ibrahim Asmoro Qodhi yang kelak lebih populer disebut Sunan Gresik.
Keduanya memilih Tuban sebagai rumah terakhir setelah mengemban misi dakwah menyebarkan Islam di Kadipaten (sekarang kabupaten) Tuban dari ayahandanya Syech Jumadil Kubro pasca meredupnya kejayaan kerajaan Pasai.
Dan di bumi Tuban itu pula jasad keduanya disemayamkan, sehingga bumi kabupaten ini kondang dengan sebutan Bumi Wali.
Maulana Ibrahim Asmoro Qodhi (Sunan Gesik) dimakamkan di Desa Gesikharjo, Kecamatan Palang, lima

SEJARAH TUBAN, SILSILAH BUPATI TUBAN

Yang menjadi permulaan ceritera sejarah ini ialah pada waktu Negara Pajajaran yang semula berpusat dekat Ciamis, diperintah oleh seorang raja yang bernama Prabu Banjaransari.
Pada waktu sang Prabu Banjaransari ini memerintah, keadaan Negara Pajajaran aman sejahtera dan rakyatnya hidup makmur, sehingga nama sang Prabu Banjaransari termasyhur bukan saja di dalam negeri, tetapi juga sampai di luar negeri.
Sang Prabu Banjaransari mempunyai banyak putra, akan tetapi sebagai pokok pangkal sejarah Tuban ini kita mengambil salah satu di antara para putra sang Prabu Banjaransari tersebut, yakni Raden Arya Metahun, yang kelak menurunkan para Bupati Tuban. Sang Prabu Banjaransari berputra Raden Arya Metahun. Raden Arya Metahun berputra Raden Arya Randu Kuning.
 2001 – 2011 (sampai sekarang)
I. Kabupaten Lumajang Tengah
Raden Arya Randu Kuning ini mengembara ke arah timur, dengan seizin neneknya yakni sang Prabu Banjaransari. Sampai di sebelah utara Kalakwilis Kecamatan Jenu Tuban. Raden Arya Randu Kuning menghentikan pengembarannya, dan kemudian membuka Hutan Srikandi yang terletak di tepi pantai dekat Gunung Kalakwilis untuk dijelmakan menjadi sebuah negara. Berkat keinginan dan kemauannya untuk menjadi bupati disertai dengan bekerja keras, maka lama-lama Hutan Srikandi menjadi sebuah perkampungan, yang akhirnya menjadi sebuah kabupaten yang diberi nama Kabupaten Lumajang Tengah dengan Raden Arya Randu Kuning sebagai bupatinya, yang kemudian bergelar Kyai Ageng (Kyai Gede Lebe Lontong + permulaan abad 12).
Alkisah ketika Kyai Gede Lebe Lontang menjadi Bupati Lumajang Tengah negara dalam keadaan aman, sentosa, gemah ripah loh jinawi, rakyat hidup makmur. Itu semuanya berkat kebijaksanaan dan kesaktian yang menimbulkan pribawa pribadi sang Bupati Lebe Lontang yang diperoleh dengan melakukan yoga, dan selalu berikhtiar dengan menggunakan daya kekuatannya agar kerajaan dan rakyatnya selalu hidup makmur, aman dan sejahtera.
Bekas wilayah Lumajang Tengah didapat kembali dalam hutan sebelah timur laut tempat pemberhentian Kereta Pos Bogang (Kecamatan Jenu).
Kyai Ageng Lebe Lontang ini menjadi bupati di Lumajang Tengah lamanya 22 tahun.
II. Kabupaten Gumenggeng
Kyai Ageng Lebe Lontang berputra seorang bernama Raden Arya Bangah, yang mempunyai kesaktian lebih dari ayahnya, lagi pula mempunyai paras yang elok, sehingga para gadis remaja jatuh cinta dengan tidak disadari oleh Arya Bangah.
Akan tetapi setelah ayahnya mangkat, Raden Arya Bangah tidak mau diangkat menjadi Bupati Lumajang Tengah menggantikan ayahnya, tetapi Raden Arya Bangah mempunyai keinginan keras akan mendirikan kabupaten sendiri. Akhirnya diputuskan pergi mengembara menuju ke arah selatan dengan diikuti keluarga dan rakyatnya. Setelah sampai di kaki gunung Rengel, Raden Arya Bangah beserta pengikutnya menghentikan perjalanan. Dan kemudian membuka hutan akan dijadikan perkampungan.
Lama-lama perkampungan tersebut menjadi sebuah kabupaten yang diberi nama Gumenggeng. Sebagaimana ayahnya, Kabupaten Gumenggeng ini menjadi kabupaten yang aman sejahtera, dan rakyatnya hidup tenang dan makmur. Bekas kabupaten tersebut sekarang menjadi Desa Banjaragung (Kecamatan Rengel).
Raden Arya Bangah mempunyai seorang putra bernama Arya Dandang Miring. Setelah memerintah 22 tahun, Raden Arya Bangah mangkat. Semasa hidup ayahnya, Redan, Arya Dandang Miring ini suka bertapa, kadang-kadang mengembara di tempat-tempat yang sunyi, dengan maksud minta kepada para dewata, agar keturunannya kelak dapat menjadi bupati prajurit dan negara yang akan diperintahnya selalu dalam keadaan aman tenteram, lagi pula rakyatnya dapat hidup makmur. Karena sangat kuat dan tabahnya Raden Arya Dandang Miring menyatukan cipta dan kehendaknya, akhirnya permintaannya dikabulkan oleh dewata yang mulia dan dalam bersamadi, Raden Arya Dandang Miring mendapatkan ilham yaitu : Semangkat ayahnya kelak, ia tidak diperkenankan menjadi bupati di Gumenggeng, sebab kalau tetap menjadi bupati di Gumenggeng, apa yang dicita-citakan tidak akan tercapai. Untuk mencapai cita-cita itu ia harus membuka hutan sendiri yang letaknya di sebelah barat laut dari Kabupaten Gumenggeng, dan lagi kabupaten tersebut hanya khusus untuk Raden Arya Dandang Miring sendiri. Permintaannya baru terkabul jika putranya kelak membuka hutan yang bernama Papringan dan setelah dibuka, supaya diberi nama Tuban. Dan putranya itulah kelak yang dapat

MAKAM SUNAN BEJAGUNG, PENINGGALAN DAN MITOS YANG BERKEMBANG DI MASYARAKAT

Sebagai situs makam yang dikeramatkan, makam Sunan Bejagung yang dikelilingi puluhan pepohonan tua berusia ratusan tahun itu oleh masyarakat diyakini menyimpan berkah. Di antaranya dapat mengeluarkan diri dari nasib ruwet (susah), sekaligus sebagai obat mujarab untuk menyembuhkan berbagai luka dan penyakit.
Meski pada awalnya makam ini kurang dikenal sebagaimana makam Sunan Bonang. Namun, situs wisata religi Sunan Bejagung atau Syaikh Abdullah Asy’ari yang konon semasa hidupnya menjadi penyulut pelita dan muadzin di Masjidil Haram ini mulai banyak dikunjungi oleh wisatawan.
Cerita-cerita yang berkembang dimasyarakat mulai menarik para peziarah dan wisatawan untuk menyaksikan langsung lokasi wisata ini. Diantara cerita yang masih menjadi keyakinan masyarakat sekitar yakni bahwa pada masanya hanya Sunan Bejagunglah yang mampu menyulut pelita di Masjidil Haram. Dan, yang menakjubkan, ketika waktu manjing (masuk) shalat isya’ tiba, Sunan Bejagung sudah kembali berada di tengah ratusan santrinya menjadi imam shalat.
Hal menarik lainnya yakni sebuah sumur giling yang digali sendiri oleh Sunan yang terletak di sebelah utara komplek makam. Sumur berbentuk persegi yang dipercaya sebagai salah satu maha karya Sunan Bejagung ini airnya tak pernah kering sepanjang musim bahkan saat musim kemarau terparah sekalipun.  Untuk menaikkan air dari sumur ini, dibuat kumparan besar dari kayu yang diletakkan melintang di atas sumur. Kumparan itu dibuat sedemikian rupa sehingga mudah untuk diputar. Dengan kedalaman 62 meter, bisa dibayangkan betapa sulitnya menaikkan air dengan katrol kecil.
Karena cara pengambilan air yang menggunakan kumparan kayu besar (gilingan).  Seperti pemintal benang yang banyak digunakan para pengrajin batikgedog dari Kecamatan Kerek, Tuban. Maka sumur hasil karya Syeikh Asy’ari tersebut kemudian dinamakan sumur Giling.
Bagi masyarakat Tuban, terutama yang tinggal di wilayah Kecamatan Semanding, Sumur Giling tak ubahnya sumur zam-zam yang ada di Masjidil Haram, Mekkah, Saudi Arabia. Menurut keyakinan masyarakat setempat, air sumur sedalam 62 meter tersebut memiliki berjuta karamah atau kasiat. Keyakinan itulah yang mengundang banyak orang berbondong-bondong datang ke situs makam salah satu penyebar agama Islam di Pulau Jawa ini. Kendati tidak masuk dalam daftar anggota Wali Songo, makam Sunan Bejagung tetap disejajarkan dengan para wali lainnya.
Menurut cerita tutur yang berkembang di masyarakat, pembuatan sumur tersebut dilakukan  hanya butuh waktu satu hari satu malam. Banyak orang percaya air Sumur Giling Sunan Bejagung mengandung energi luar biasa. Lantaran berada pada kedalaman 62 meter di bawah tanah diyakini mampu membuat badan lebih sehat.
Terlepas dari semua mitos tersebut, sumur giling tua peninggalan Sunan Bejagung itu menjadi bukti yang masih tersisa dari peradaban masa lalu bangsa Indonesia. Bahwa sejak zaman Majapahit, bangsa ini telah mengenal tehnologi  pengeboran, hal itu tidak bisa terbantahkan dengan bukti-bukti yang masih ada seperti Sumur Giling Sunan Bejagung tersebut.
Satu lagi yang menarik dari situs makam ini adalah Gugusan batu yang bernama Watu Gajah. Konon, batu-batu tersebut penjelmaan dari gajah tentara Majapahit yang hendak  membawa pulang paksa Pangeran Kusumohadi yang mengaji kepada Sunan Bejagung
Pangeran Kusumohadi adalah  putra Prabu Hayam Wuruk, salah satu raja Majapahit. Setelah mengetahui  bahwa anaknya mengaji di Padepokan Sunan Bejagung Tuban, maka sang prabu  memerintahkan patihnya Gajah Mada menjemput. Mendengar rencana itu, Pangeran Kusumohadi memohon kepada Sunan Bejagung untuk membantunya menolak kehendak Prabu Hayam Wuruk.
Kehendak pangeran tersebut dikabulkan Sunan Bejagung. Untuk melindungi sang pangeran, Sunan Bejagung menggaret tanah sekitar Padepokan Kasunanan Bejagung yang sampai sekarang dikenal dengan Siti  Garet.
Mitos lain yang terkait dengan  karomah Sunan Bejagung lor (utara) adalah pantangan warga Bejagung memakan ikan  meladang (jenis ikan laut). Mitos  ini terkait dengan pengalaman Sunang Bejagung yang terapung di laut dan ditolong ikan tersebut.
Awalnya, tidak ada istilah Sunan  Bejagung Lor (utara) dan Sunan Bejagung Kidul (selatan) karena Sunan Bejagung memang hanya  satu yaitu Maulana Abdullah Asya’ari Sunan Bejagung. Kisah ini berawal  dari datangnya seorang santri yang dikirim oleh Syeh Jumadil Kubro. Namanya, Pangeran Kusumohadi yang tidak lain putra Prabu Brawijaya IV atau Prabu Hayam Wuruk dari salah seorang selirnya.
Karena  alim, sholeh, dan ketauhidannya sangat tinggi, akhirnya Kusumohadi  diambil menantu Sunan Bejagung. Melihat kemampuan menantunya  dalam mengajarkan agama, Hasyim Alamuddin dipasrahi siar di wilayah  Bejagung Kidul. Sementara Syekh Maulana Abdullah Asy’ari berpindah atau  uzlah ke Bejagung bagian utara (Bejagung Lor).
Di kawasan ini juga terdapat kompleks pemakaman Citro Sunan yang letaknya hanya dibatasi jalan raya jurusan Tuban – Bojonegoro. Terletak di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding Tuban. Berjarak sekitar satu kilometer ke selatan dari kota Tuban, atau satu jalur dengan obyek wisata pemandian Bektiharjo.